Sakit Gigi Versus Sakit Hati
Masih ingat dong sama syair lagu dangdut terkenal lebih baik sakit gigi daripada sakit hati-nya Meggi Z puluhan tahun lalu?
Kalo generasi zaman now sih kayaknya ga kenal sama lagu itu. Nah kan jadi ketauan betapa tuir nya saya dilihat dari lagu kenangannya hehe…
Ceritanya ini saya mau curcol soal sakit gigi.
Sudah beberapa hari belakangan ini saya ga bisa tidur semalaman karena sakit gigi. Saking sakitnya cenat cenut bikin ga enak makan. Nguap aja kesakitan karena mulut ga bisa menganga lebar dengan bebasnya 😀
Akhirnya terpaksa juga pergi ke dokter gigi minta dicabut pada Kamis pagi. Tetapi karena gigi yang sakit itu geraham paling ujung di bagian atas, dimana letaknya menempel ke pipi, dan masih kondisi sakit pulak, sehingga dokter memutuskan untuk memberi obat untuk meredakan nyerinya terlebih dahulu.
Karena jadwal prakteknya hanya 2x seminggu, Senin malam berikutnya saya dijadwalkan bertemu dengan dokter spesialis bedah mulut untuk tindakan selanjutnya.
Sudah hilang nyerinya, janji ketemu dokter spesialis bedah mulut pada Senin malam terpaksa ditunda. Penyebabnya dokter batal datang karena habis meeting jauh dan terjebak macet. Tidak cuma saya, semua pasien memutuskan untuk membatalkan periksa gigi malam itu.
Datang lagi untuk yang ketiga kali Kamis malam, dokternya telat datang dengan alasan jalanan macet. Alasan yang klise menurut saya mah. Udah ga aneh kali dok, namanya juga di Jakarta. Jam-jam pulang kerja udah pasti lah macet dimana-mana.
Jadwal cuma jadi pajangan. Di atas kertas mulai jam 18.30 tapi pak dokter mah datangnya tetep we di atas jam 20.00. Kita pasien cuma bisa sabar menunggu.
Saat itu saya cuma dikasih obat lagi dan disuruh foto rontgent mulut panoramik. Untung masih ketemu petugasnya pas mereka bersiap-siap pulang, sehingga langsung saya cegat minta dilayani dulu.
Balik lagi hari Senin malam. Kali ini saya sengaja pergi dari rumah habis sholat isya. Sampai RS sekitar jam 20.00, pak dokter masih belum datang. Menurut petugas jaga, ga ada pemberitahuan apa-apa dari dokter, sehingga kemungkinan besar pak dokter pasti datang, cuma telat aja.
Sabar lagi dong saya. Sembari nunggu saya habiskan waktu sambil nonton drama Korea online di hape. Ga lama kemudian pak dokter datang, maka satu per satu pasien dipanggil sesuai nomor urut antrian.
Eh pas mau giliran saya masuk, ternyata urusan asuransinya belum kelar. Petugas jaganya bilang belum berhasil dapat ACC dari pihak asuransi, sehingga kalo saya mau dicabut giginya malam itu juga, saya harus membayar tanpa jaminan. Sementara, kasus gigi saya ternyata membutuhkan penanganan tertentu yang bukan cabut gigi biasa, sehingga biaya yang dikeluarkan cukup besar, antara Rp 3-5 juta.
Alamaak…mahalnya. Maka saya putuskan menunda lagi sampai ada kejelasan dari pihak asuransi apakah tindakan cabut gigi saya bakal dijamin atau tidak. Kan lumayan juga biayanya.
Jadi baru Kamis malam berikutnya lagi saya datang lagi. Dan saya sudah mendapatkan kepastian dari asuransi bahwa tindakan cabut gigi saya akan ditanggung oleh pihak asuransi. Sudah lebih tenang sedikit soal biaya.
Sama seperti sebelumnya, pak dokter datangnya telat lagi. Pas tiba gilirran saya, sudah jam 20.30. Saya langsung disuruh duduk di kursi periksa.
Diukur tensinya, ternyata 130/80. Lumayan tinggi kata dokter. Saya jawab aja stres nungguin dokter kelamaan sih xixixi 😀
Belum lagi disuruh nunggu sekitar 15 menit sementara suster menyiapkan semuanya, mulai dari jarum suntik sampai alat-alat cabut gigi. Duh bikin saya makin degdegan aja.
Mendadak perut saya terasa mules begitu melihat jarum suntiknya yang panjang. Saya kan paling takut disuntik 😀
Setelah gusi disuntik 2x saya disuruh nunggu lagi sekitar 5 menit, sampai obat biusnya mulai bekerja. Sedikit alot juga saat proses pencabutan giginya. Utek utek beberapa kali, akhirnya si gigi tercabut juga.
Mulai berdarah-darah sampai terasa di pangkal kerongkongan bikin saya sedikit mual. Tapi saya tahan, karena ternyata dokter sampai harus menjahit luka bekas giginya dan kena 2 jahitan. Duh mana benang jahitannya panjang banget sampai terasa di bibir, bikin saya makin mual.
Tapi ternyata semua proses itu berlangsung dalam waktu yang cukup singkat. Cuma 10 menit aja, selesai sudah. Habis itu dokter menuliskan diagnosa di formulir pemeriksaan dan memberikan resep obat antibiotik, pereda nyeri dan bengkak.
Sampai di rumah, saya amat-amati gigi yang bikin saya sakit menderita itu. Ternyata lubangnya cuma kecil aja. Tapi bentuk mahkota gerahamnya rada aneh. Seperti dua gigi kembar yang saling menempel.
Masih seminggu lagi saya harus balik datang lagi untuk membuka cabut benang jahitannya. Apakah saya harus disuntik lagi untuk buka jahitan? Duh, ngebayangin jarumnya yang panjang aja cukup bikin saya tiba-tiba jadi mules lagi.
Jadi kalo sekarang saya ditanya, lebih baik mana sakit gigi atau sakit hati?
Saya sudah merasakan dua-duanya, dan sama saja ga enaknya 😀
Yang pasti saya ga mau lagi merasakan sakit gigi maupun sakit hati. Kapok hahaha…
Komentar
Posting Komentar